RenuNgan Today




Wahai Gusti Allah,,, Tuhan yang menguasai hati, Maha Membolak-balikkan hati...tetapkan aku dan saudaraku seiman untuk tetap teguh terhadap syariat yg di bawa untusan - Mu,,,bagindaku, Sang Penyafa'at kelak di hari kiamat... tetapkan kami untuk tetap berada di shaf golongan yang masuk surga karena rindu akan Cinta Kasih Mu Wahai Gusti Allah Penguasa Jagad Raya..






Join The Community

Sabtu, Februari 12, 2011

Sikap Menghadapi Heterogenitas Agama


 Hidup di suatu daerah yang heterogenitas agamanya tinggi adalah suatu tantangan tersendiri bagi seorang muslim. Bagaimana tidak? Hidup di lingkungan seperti itu butuh pengertian dan kefahaman yang mendalam terkait dengan etika bergaul. Sebenarnya etika bergaul dibutuhkan tidak hanya dengan antar agama tapi juga sesama agama. Namun sikap yang perlu diwujudkan dalam hal ini adalah memelihara bagaimana caranya agar seorang muslim dapat hidup secara kondusif dengan keadaan yang seperti itu.
            Langkah awal yang harus diambil adalah memperkuat keyakinan terkait hubungan manusia terhadap Penciptanya. Hal ini didasarkan agar seorang muslim tersebut tidak goyah mempertahankan keimanannya dalam hidup berdampingan dengan mereka (antar agama). Keyakinan yang kuat akan menuntun pemiliknya untuk bersikap sebagaimana mestinya. Tanpa adanya keyakinan seorang muslim akan mudah digoyahkan.
            Contohnya saja sebagai seorang muslim yang tidak punya landasan agama yang cukup akan mudah ikut – ikutan orang lain dalam hal apapun mulai dari tren sampai gaya hidup. Berbeda halnya dengan muslim yang memegang teguh ajaran agamanya akan lebih waspada menghadapi kenyataan seperti itu. Apabila dua muslim tersebut dihadapkan dalam keadaan yang sama yakni hidup di dalam heterogenitas agama kemungkinan besar salah satu dari mereka akan bersikap acuh dan tidak bisa memegang teguh ajaran mereka. Padahal dua orang muslim tersebut berasal dari agama yang sama yakni agama Islam misalnya. Hal itu disebabkan karena kurangnya penekanan agama yang mereka terapkan dalam hidup bermasyarakat. Kenyataan seperti itu sudah tidak asing di kehidupan saat ini. Maka dari itu bekal agama harus diperkuat untuk dijadikan pedoman hidup seorang muslim.
            Seperti yang tercantum dalam ayat di bawah ini yang menjelaskan mengenai perbedaan kiblat umat satu dengan lainnya yang sama – sama diperintahkan untuk berlomba – lomba dalam hal kebajikan tertuang dalam QS. Al Baqarah :148
Artinya : Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba – lombalah kamu dalam hal kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
            Perbedaan kiblat tersebutlah yang menjadi acuan untuk saling bertoleransi antar umat beragama serta menunjukkan betapa Maha Berkuasanya Allah SWT yang telah menurunkan berbagai jenis agama yang disempurnakan oleh ajaran sesudahnya dan berujung pada Al-Qur’an.
            Langkah selanjutnya yakni adalah saling memahami. Yang dimaksud disini adalah memahami bagaimana seseorang hidup dalam lingkungan yang heterogen. Langkah ini adalah cara yang harus dipraktekkan. Namun tanpa dipraktekkan pun bisa ditarik hasil dengan menggunakan cara lain yakni pengamatan lebih dekat terhadap kehidupan mereka. Alangkah baiknya seorang muslim itu menaruh prasangka positif terhadap umat agama lain agar tidak tercipta rasa saling curiga. Memberi kesan positif agar dituai hasil yang positif pula dari hasil interaksi tersebut. Ditekankan pada agama lain karena yang dibahas adalah masalah heterogenitas antar umat beragama.
            Sesuai dengan fungsi hubungan sosial yang terjalin dalam masyarakat yakni menyebabkan terjadinya suatu interaksi positif dalam suatu lingkungan yang heterogen. Meskipun pada dasarnya syariat yang mereka jalankan itu berbeda namun sebenarnya tujuan mereka adalah satu yakni Allah SWT yang penyebutannya saja berbeda – beda. Syariat yang diajarkan dalam agama islam memiliki ciri yang berbeda dengan syariat orang majusi, yahudi, maupun nasrani. Hal itu disebabkan karena tiap – tiap umat memiliki rasul yang berbeda dan membawa ajaran yang berbeda pula. Berbeda dengan kata lain menyempurnakan ajaran sebelumnya. Hal ini seperti yang tercantum dalam QS. Al Hajj : 67
Artinya : Bagi setiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang (harus) mereka amalkan, maka tidak sepantasnya mereka berbantahan dengan engkau dalam urusan (syariat) ini, dan serulah (mereka) kepada Tuhanmu. Sungguh, engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus.
Adanya perbedaan tersebut bukan untuk diperangi dan dimusuhi melainkan untuk menujukkan kekuasaan Allah yang sungguh tak terkira batasnya. Dan dengan hal itu pula sebaiknya manusia dapat mengambil pelajaran darinya untuk terus mengintrospeksi diri dalam berbenah menjadi manusia yang lebih baik. Itulah fungsi adanya kefahaman terhadap kehidupan antar umat beragama yang tidak menimbulkan perpecahan melainkan kerukunan.
            Langkah terakhir dalam menghadapi heterogenitas agama adalah menciptakan suatu hubungan kekerabatan agar tercipta silaturrahmi antar umat beragama. Cara ini didasarkan oleh sikap Rasulullah dalam menghadapi orang – orang kafir yang membenci Rasulullah dan sering meludahinya. Namun ketika orang kafir tersebut sakit justru Rasulullah lah yang menjenguknya.
            Sikap Rasulullah tersebut merupakan teladan yang baik dalam menghadapi umat antar agama yang bersikap negatif pada orang muslim. Sudah sewajarnya perbedaan pendapat itu terjadi hingga menimbulkan keributan. Namun sebagai seorang muslim sudah seharusnya menciptakan kedamaian dan ketentraman karena sesungguhnya islam rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula agama lain yang juga diperintahkan untuk berbuat kebajikan, dan beriman kepada Allah. Seperti firman Allah dalam QS. Al Baqarah :62
dan orang-orang Sabi’in,[1] siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan tidak bersedih hati.
Bahkan ayat tersebut diulang dua kali dalam QS. Al Maidah : 69
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabi’in, dan                orang-orang Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya, dan mereka tidak bersedih hati.


[1] Sabi’in ialah umat sebelum Nabi Muhammad SAW yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang.

0 komentar:

Posting Komentar

tQ 4 ur comment...